Di Saijo, Higashi Hiroshima, Jepang memang tidak banyak salju yang menutupi permukaan tanah pada waktu musim dingin. Paling banter cuma setebal 5 cm jauh lebih tipis dibandingan dengan daerah Niigata di utara yang tebalnya bisa setinggi rumah satu lantai. Angin yang membawa awan salju dari arah barat tertahan di pegunungan yang mengelilingi kota kecil tersebut. Namun demikian suhu udaranya cukup dingin untuk memaksa penghuni rumah menyalakan pemanas ruangan seharian penuh. Pada saat inilah tagihan listrik dan gas membengkak.
Sebagai bukti dinginnya saat itu terlihat dari teras apato yang kutinggali, air kolam di taman membeku, tanaman pagar bertabur serbuk putih yang merupakan embun yang membeku, dan beberapa pohon (entah apa namanya) meranggas. Termometer yang sengaja kuletakkan di teras menunjukkan angka di bawah nol derajat celcius. Angka yang terendah yang pernah kulihat adalah -14 sewaktu badai datang pada malam hari walaupun tidak membawa banyak salju. Saking dinginya sehingga dapat membuat keran macet karena air dalam pipa juga ikut membeku. Kalau sudah begitu, segala aktivitas terutama yang berhubungan dengan air seperti mencuci, mandi, bahkan berwudhu menjadi aktivitas yang menyiksa. Kalau mandi masih bisa menggunakan pemanas air tetapi mencuci baik peralatan makan maupun pakaian terpaksa harus menggunakan sarung tangan kulit karena telapak tangan merupakan salah satu anggota badan yang tidak tahan dingin.
Kalau orang Indonesia seperti saya cenderung hibernasi (mendekam dalam ruangan dengan pemanas) pada musim dingin, orang Jepang justru memperbanyak aktivitas fisik di luar untuk menghangatkan tubuh. Jadi tidak usah heran jika banyak orang Jepang hobi berolah raga bahkan para lansia. Olah raga di sana juga tidak mengenal waktu. Sering saya memergoki pasangan lansia melakukan aktivitas jalan sehat bakan di tengah malam sekalipun dengan berbekal senter. Intinya keadaan alam tidak boleh dijadikan alasan untuk bermalas-malasan.
Disiplin seperti itu memang sudah diajarkan sejak usia dini dimana para pelajar hanya mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan dan tidak satupun yang mengenakan jaket. Di ruang kelas pun harus melepaskan sepatunya. Setelah duduk di bangku kuliah baru mulai memakai jaket ke kampus. Dengan aturan yang tampak sederhana itulah yang mungkin dapat menciptakan manusia-manusia yang berkarakter. Kita harus bisa mencontoh semangat tersebut. GANBATTE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.