Novel itu sudah lama ada di rak buku adikku. Ya, aku tahu persis itu. Selama ini selalu terabaikan olehku saat mencari-cari bahan bacaan. Yang teringat hanyalah predikat #1 New York Time Bestseller di sampul depannya. Sampai akhirnya tiba juga gilirannya saat aku harus bepergian dan harus ditemani bacaan bagus selama perjalanan.
Tak disangka ternyata itu pilihan yang tepat. Karya Khalled Hosseini berjudul The Kite Runner itu mengingatkanku pada masa kecilku yang juga seorang pengejar layang-layang. Walaupun kisahku tidak setragis tokoh yang ada dalam cerita tersebut tetapi cukup banyak suka duka yang masih tersimpan dalam ingatan.
Sebagai anak kecil yang uang sakunya sangat minim bahkan tidak ada sama sekali seperti aku dulu, menjadi pengejar layang-layang menjadi pilihan terbaik untuk bisa memiliki sebuah layangan. Tidak perlu keluar uang tapi memang butuh ketangkasan dan sedikit keberuntungan. Kadang kita bisa memperolehnya dalam keadaan utuh tetapi tidak jarang juga dalam keadaan hancur lebur akibat aksi rebutan.
Ada sebuah pengalaman yang membuatkan agak trauma sebagai pengejar layang-layang. Di suatu Minggu pagi, angin bertiup tidak begitu kencang tetapi cukup untuk kuat untuk membuat layangan menari di udara dan saling beradu dengan yang lainnya. Saat itu angin bertiup ke selatan atau ke arah bandara kecil dekat rumah. Ya, walaupun kami tinggal di tempat terpencil, kami memiliki sebuah bandara yang dibangun dan digunakan oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di daerah tersebut. Kami berlima menunggu di halte bis dekat bandara itu, mengawasi satpam yang berpatroli, dan siap-siap memanjat pagar pembatas jika layangan tersebut jatuh di area bandara.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, Salah satu layangan putus dan melayang ke arah bandara seperti dugaan kami. Tapi yang tidak kami duga adalah angin di atas ternyata bertiup kencang sehingga layang-layang tersebut jatuh jauh di dalam semak-semak tinggi di seberang landasan pacu. Kami pun segera mengejarnya. Keempat temanku tiba duluan di semak belukar tersebut dan langsung masuk. Aku yang sampai belakangan juga mengikut. Semak belukar tersebut ternyata jauh lebih lebat dan jauh lebih tinggi daripada yang terlihat. Aku mencoba menembusnya berdasarkan naluri karena memang tidak ada jalan apapun di sana. Ranting-ranting dan duri tajam Putri Malu menggores seluruh tubuhku tapi aku tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba aku sampai di tempat terbuka. Sempat merasa lega, perasaan takut mulai mengikisnya. Aku tidak melihat keempat temanku yang tadi masuk duluan. Kupanggil mereka satu persatu tetapi tidak ada jawaban. Sempat kuputuskan untuk masuk kembali ke semak-semak untuk menyusuri kembali jalan yang kulalui tadi, tidak disangka jalan tersebut seakan menutup tanpa bekas sama sekali. Perasaan panik membuatku sempat ingin menangis dan menjerit histeris tapi rasa takut justru membuatku mengurungkan niat tersebut.
Setelah memandang dan mencari jalan alternatif di tempat terbuka tersebut, sedikit demi sedikit aku mulai mengenali tempat tersebut. Kata orang tempat tersebut dulu bekas lapangan kriket yang dulu sering dipakai oleh orang-orang bule yang bekerja di perusahaan pertambangan. Sekarang tempat itu gersang, tidak rata dan ditumbuhi rumput liar di sana-sini karena tidak pernah dipakai lagi.
Setelah cukup yakin bahwa itu lapangan kriket, tidak sulit bagiku untuk mencari jalan pulang. Tinggal mengikuti jalan yang mengitari bandara kecil tersebut dan akhirnya sampai di halte bis tempat kami menunggu tadi. Teman-temanku tadi tidak muncul-muncul juga walapun aku sudah menunggu beberapa lama sambil menenangkan diri. Akhirnya kuputuskan untuk pulang karena sudah sepi, tidak ada layang-layang yang terbang dan mungkin teman-temanku tadi juga sudah pulang. Baru keesokan harinya kami tertemu lagi. Mereka baik-baik saja dan aku tidak mengungkit-ungkit kejadian tersebut lebih karena malu sempat menjadi anak hilang saat menjadi pengejar layang-layang dan mereka pun tidak menanyakannya.
Sekarang baru aku sadari bahwa tindakanku dan teman-temanku waktu itu dan di waktu-waktu lainnya memang bodoh dan membahayakan keselamatan kami. Kepuasan memperoleh layang-layang tersebut tidak sebanding dengan resiko yang mungkin terjadi. Aku ngeri sendiri jika mengingatnya.
Ada sebuah pengalaman yang membuatkan agak trauma sebagai pengejar layang-layang. Di suatu Minggu pagi, angin bertiup tidak begitu kencang tetapi cukup untuk kuat untuk membuat layangan menari di udara dan saling beradu dengan yang lainnya. Saat itu angin bertiup ke selatan atau ke arah bandara kecil dekat rumah. Ya, walaupun kami tinggal di tempat terpencil, kami memiliki sebuah bandara yang dibangun dan digunakan oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di daerah tersebut. Kami berlima menunggu di halte bis dekat bandara itu, mengawasi satpam yang berpatroli, dan siap-siap memanjat pagar pembatas jika layangan tersebut jatuh di area bandara.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, Salah satu layangan putus dan melayang ke arah bandara seperti dugaan kami. Tapi yang tidak kami duga adalah angin di atas ternyata bertiup kencang sehingga layang-layang tersebut jatuh jauh di dalam semak-semak tinggi di seberang landasan pacu. Kami pun segera mengejarnya. Keempat temanku tiba duluan di semak belukar tersebut dan langsung masuk. Aku yang sampai belakangan juga mengikut. Semak belukar tersebut ternyata jauh lebih lebat dan jauh lebih tinggi daripada yang terlihat. Aku mencoba menembusnya berdasarkan naluri karena memang tidak ada jalan apapun di sana. Ranting-ranting dan duri tajam Putri Malu menggores seluruh tubuhku tapi aku tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba aku sampai di tempat terbuka. Sempat merasa lega, perasaan takut mulai mengikisnya. Aku tidak melihat keempat temanku yang tadi masuk duluan. Kupanggil mereka satu persatu tetapi tidak ada jawaban. Sempat kuputuskan untuk masuk kembali ke semak-semak untuk menyusuri kembali jalan yang kulalui tadi, tidak disangka jalan tersebut seakan menutup tanpa bekas sama sekali. Perasaan panik membuatku sempat ingin menangis dan menjerit histeris tapi rasa takut justru membuatku mengurungkan niat tersebut.
Setelah memandang dan mencari jalan alternatif di tempat terbuka tersebut, sedikit demi sedikit aku mulai mengenali tempat tersebut. Kata orang tempat tersebut dulu bekas lapangan kriket yang dulu sering dipakai oleh orang-orang bule yang bekerja di perusahaan pertambangan. Sekarang tempat itu gersang, tidak rata dan ditumbuhi rumput liar di sana-sini karena tidak pernah dipakai lagi.
Setelah cukup yakin bahwa itu lapangan kriket, tidak sulit bagiku untuk mencari jalan pulang. Tinggal mengikuti jalan yang mengitari bandara kecil tersebut dan akhirnya sampai di halte bis tempat kami menunggu tadi. Teman-temanku tadi tidak muncul-muncul juga walapun aku sudah menunggu beberapa lama sambil menenangkan diri. Akhirnya kuputuskan untuk pulang karena sudah sepi, tidak ada layang-layang yang terbang dan mungkin teman-temanku tadi juga sudah pulang. Baru keesokan harinya kami tertemu lagi. Mereka baik-baik saja dan aku tidak mengungkit-ungkit kejadian tersebut lebih karena malu sempat menjadi anak hilang saat menjadi pengejar layang-layang dan mereka pun tidak menanyakannya.
Sekarang baru aku sadari bahwa tindakanku dan teman-temanku waktu itu dan di waktu-waktu lainnya memang bodoh dan membahayakan keselamatan kami. Kepuasan memperoleh layang-layang tersebut tidak sebanding dengan resiko yang mungkin terjadi. Aku ngeri sendiri jika mengingatnya.
Baca juga:
Dad ... Tell Me a Story
Mysterious Friends
NonSwimming Boy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.