Manusia pada dasarnya hanya dapat berpikir seputar manusia itu sendiri, alam semesta, dan kehidupan. Hal ini tak lepas dari keterbatasan proses berpikir manusia yang melibatkan beberapa aspek yaitu fakta, indera, otak, dan pengetahuan sebelumnya. Seorang anak kecil yang belajar mengenal benda-benda (fakta) dengan cara melihat, mendengar, meraba atau menggunakan indera yang lain tetap tidak akan bisa tanpa penjelasan dari orang tua atau orang lain mengenai nama maupun fungsi dari benda tersebut (pengetahuan sebelumnya). Bahkan para ilmuan sekalipun juga memanfaatkan pengetahuan sebelumnya sebagai dasar untuk menciptakan barang-barang baru yang belum pernah ada. Untuk itu manusia tidak akan pernah tahu informasi mengenai dari mana mereka sebelum dilahirkan dan menuju kemana setelah meninggal karena tak seorangpun yang ingat dan dapat memberikan informasi mengenai hal tersebut.
Apakah pengetahuan akan hal tersebut penting? Sebagian orang mungkin acuh mengenai masalah ini. Namun demikian, cepat atau lambat mereka akan kepikiran juga karena memang sudah menjadi sifat manusia untuk selalu bertanya apalagi peristiwa kelahiran dan kematian sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan ada acara seremonial untuk menyambut kedua peristiwa tersebut di masyarakat paling primitif sekalipun. Sadar atau tidak, diakui atau tidak pengetahuan akan hal tersebut menjadi penting.
Oleh karena pengetahuan manusia tidak dapat diandalkan dalam menemukan jawaban atas segala persoalan maka unsur Tuhan wajib dimasukkan sebagai sumber utama pengetahuan sebab Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta segala isinya. Perlu diingat Tuhan tersebut tidak dilahirkan (yang berarti ada yang lebih berkuasa), tidak muncul secara tiba-tiba dengan sendirinya dari ketiadaan (tidak mungkin), melainkan Tuhan yang tidak berawal dan tidak berakhir. Kalau itu kriterianya, Allah SWT memenuhi syarat dengan sangat meyakinkan seperti yang digambarkan dalam Al Quran Surat Al Ikhlas:
Katakanlah: Dia Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak tidak pula diperanakkan. Dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia.
Manusia memperoleh informasi dari Tuhan berdasarkan wahyu yang diturunkan kepada para utusannya (rasul) yang kemudian dikumpulan menjadi sebuah kitab suci. Wahyu ini sangat berbeda dengan perkataan manusia baik dari segi tata bahasanya maupun isinya sehingga tidak bisa ditiru atau dipalsukan. Di antara beberapa kitab yang diklaim merupakan wahyu dari Tuhan, hanya Al Quran yang diterima oleh Muhammad SAW yang berani dijamin keasliannya seperti yang tercantum dalam QS Al Hijr (15) ayat 9:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Bahkan Allah menantang siapapun untuk menirunya seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah (2) ayat 23:
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Tantangan tersebut ada juga dalam QS Al Israa (17) ayat 88:
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala pengetahuan yang berasal dari Allah SWT, Al Quran, dan Muhammad SAW tidak perlu diragukan lagi kebenarannya dalam proses berpikir manusia. Cara berpikir demikianlah yang memungkinkan manusia untuk menemukan jawaban dari pertanyaan mendasar dari mana asal manusia, untuk apa manusia itu hidup, dan hendak ke mana manusia setelah mati. Jawabannya akan kita bahas di kajian yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.